Minggu, 26 September 2010

PERADILAN DAN HIKMAHNYA

A. ARTI, FUNGSI DAN HIKMAH PERADILAN


1. Pengertian Peradilan

Peradilan adalah tempat atau lembaga yang menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Kata ’Peradilan’, Dalam bahasa arab digunakan kata’qada’, jamaknya aqdiya’ yang artinya,”memutuskan perkara/ perselisihan antara dua orang atau lebih berdasarkan hukum Allah.” Qada dapat pula diartikan,”Sesuatu hukum antara manusia dengan kebenaran dan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah.” Para ahli fiqh memberikan definisi qada sebagai suatu keputusan produk pemerintah, atau ”menetapkan hukum syar’i dengan jalan penetapan.”


2. Tugas dan Fungsi Peradilan

Tugas peradilan:

a) Menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum

b) Memelihara keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat luas.

c) Memberikan keputusan di dalam perkara yang nyata (konkrit) yang diembankan kepadanya untuk diadili, sesuai dengan kaidah hukum yang ditetapkan undang-undang.

Landasan fungsi peradilan:

· Terpeliharanya kepastian hukum


3. Hikmah Peradilan

a. Terciptanya keadilan dalam masyarakat, karena masyarakat memperoleh hak-haknya.

b. Terciptanya keadilan dan perdamaian dalam masyarakat, karena masyarakat memperoleh kepastian hukumnya dan di antara masyarakat saling menghargai hak-hak orang lain. Tidak ada yang berbuat semena-mena, karena semuanya telah diatur oleh undang-undang.

c. Terciptanya kesejahteraan masyarakat.

d. Terwujudnya suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt.

Allah berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ


Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah/5:8)


B. HAKIM DAN SAKSI DALAM PERADILAN


  1. Pengertian Hakim

Hakim adalah isim fa’il dari kata hakama, yang artinya orang yang menetapkan hukum atau memutuskan hukum atau suatu perkara.

Menurut istilah, hakim adalah orang yang diangkat pengusa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan-persengketaan.

Selain kata hakim, digunakan pula istilah qadi, yang berarti orang yang memutuskan, mengakhiri, menyelesaikan suatu perkara.


  1. Fungsi dan Macam-Macam Hakim

Fungsi hakim secara garis besar ada dua :

1) Meneliti dan menyelidiki perkara yang dipersidangkan di pengadilan dengan berupaya mengungkapkan bukti-bukti yang otentik.

2) Menetapkan dan memutuskan hokum secara adil berdasarkan bukti-bukti yang benar. Sebab pada prinsipnya bahwa hakim adalah orang yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat.

Allah berfirman:


إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً


Artinya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa/4:58)


  1. Syarat-Syarat Menjadi Hakim

a. Muslim

Karena muslim merupakan syarat diperbolehkannya persaksian seorang muslim, dan keahlian mengadili itu ada kaitannya dengan keahlian menjadi saksi. Tetapi, menurut mazhab Hanafi, boleh mengangkat hakim yang bukan muslim untuk mengadili masyarakat yang non-muslim. Sementara untuk mengadili muslim tidak boleh, karena hal tersebut tidak disyari’atkan. Jadi, hakim non-muslim bersifat hakim khusus.

b. Baligh

Dewasa, baik dewasa jasmani, rohani maupun dewasa dalam berpikir.

c. Berakal

Benar-benar sehat pikirannya, cerdas dan dapat memecahkan masalah.

d. Adil

Dapat menjaga amanah, bersikap jujur, baik dalam keadaan marah atau suka, mampu menjaga diri dari nafsu dan perbuatan haram serta dapat mengendalikan amarah.

e. Mengetahui hukum / undang-undang,

Baik di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis, baik pokok maupun cabang-cabangnya, juga penjelasan atau interprestasi dari hukum/undang-undang Negara.

f. Sehat jasmani dan rohani

g. Dapat membaca dan menulis

h. Memahami ijma’ ulama serta perbedaan-perbedaan tradisi umat.

i. Mampu dan menguasai metode ijtihad karena ia tidak boleh taqlid.


  1. Tata Cara Menjatuhkan Hukuman

Peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa didasarkan kepada

berbagai hal dan pertimbangan, yaitu:

· Didasarkan keapda hasil pemeriksaan perkara di dalam sidang peradilan. Kemudian para hakim mengambil kesimpulan dari pemeriksaan tersebut, lalu menjatuhkan hukuman.

· Dari kondisi para hakim, bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur yang benar.


  1. Adab atau Etika Hakim

a. Sebaiknya ia berkantor di tengah-tengah negeri, di tempat yang diketahui orang dan dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat, sehingga masyarakat mudah mendapatkan pelayanan keadilan.

b. Hendaklah ia menganggap sama terhadap orang-orang yang berperkara.

c. Jangan memutuskan hukum dalam keadaan :

1) Sedang marah

2) Sedang sangat lapar dan haus

3) Sedang sangat susah atau sangat gembira

4) Sedang sakit

5) Sedang menahan buang air

6) Sedang mengantuk

d. Tidak boleh menerima pemberian atau hadiah dari orang-orang yang sedang berperkara, yang ada katiannya dengan perkara yang sedang ditangani, sebab hal ini akan menghilangkan obyektifitas keputusan.

e. Hakim tidak boleh menunjukkan cara mendakwa dan cara membela.

f. Surat-surat hakim kepada hakim yang lain di luar wilayahnya, apabila surat itu berisi hukum hendaklah dipersaksikan kepada dua orang saksi sehingga keduanya mengetahui isi surat tersebut.


  1. Kedudukan Hakim Wanita

Kebanyak jumhur ulama tidak membolehkan wanita menjadi hakim. Pendapat

ini dikemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, dan lain-lain.

Sedangkan menurut Abu hanifah dan para pengikutnya membolehkan wanita menjadi qadi dalam segala urusan, kecuali had dan qisas. Karena kesaksian wanita dalam dua perkara ini tidak dapat diterima, maka duduk mereka sebagai qadi dalam kedua perkara tersebut juga tidak dapat diterima.

Ibnu Jarir Al-Thabari memperbolehkan wanita menjadi qadi dalam segala urusan sebagaimana laki-laki. Ibn Jarir menganalogikan tidak adanya larangan bagi wanita memberi fatwa dalam segala hal.

Di Indonesia, menjadi hakim telah menjadi salah satu profesi yang banyak diminati, baik oleh pria maupun wanita. Sehingga dalam hal ini banyak wanita yang menjadi hakim.

Dalam sejarah peradilan Islam, tidak dikenal hakim-hakim wanita, semuanya adalah laki-laki. Seandainya memang karena sesuatu hal wanita menjadi hakim, sebaiknya hanya terbatas menjadi hakim anggota saja.


  1. Saksi

a) Pengertian Saksi

Saksi atau al-syahadah yaitu orang yang mengetahui atau melihat. Orang yang diminta hadir untuk memberikan keterangna yang membenarkan atau menguatkan bahwa peristiwa tersebut terjadi atau tidak.

b) Syarat-syarat Saksi

Adil adalah syarat mutlak bagi seorang saksi.

Allah swt. Berfirman :


فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً

Artinya :

”Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pelajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq/ 65 :2)

Yang dimaksud adil di sini adalah orang yang sudah balig, berakal, tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.

Orang yang adil tersebut harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

a. Muslim

b. Merdeka

c. Dapat berbicara

Orang yang bisu tidak dapat diterima menjadi saksi, meskipun dengan bahasa isyarat. Karena bahasa isyarat bisa mengandung berbagai interpretasi.

Imam Abu Hanifah membolehkan orang bisu menjadi saksi, yaitu memberikan kesaksian dengan tulisan.

d. Bukan musuh terdakwa

e. Dhabit

dalam arti kuat hafalan/ingatan dari apa yang dilihat maupun didengar, serta dapat memelihara apa yang dilihat atau didengarnya itu.

f. Bukan orang fasik, pengkhianat/pezina.


c) Kesaksian tetangga dan orang tua

Kesaksian tetangga dibolehkan dan dianggap sahs elama memenuhi syarat-syarat seorang saksi. Yang tidak boleh adalah suami memberikan saksi atas istri atau sebaliknya, anak atas orang tua dan sebaliknya serta pembantu atas tuannya. Bahkan anggota keluarga selain yang disebutkan di atas hukumnya boleh.

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad orang buta boleh menjadi saksi asal dia dapat mendengar suara. Namun kesaksian orang buta ini dalam hal-hal yang terbatas, yakni dalam soal pernikahan, talak, jal beli, sewa-menyewa, wakaf, pengakuan dan sebagainya.

Sementara Abu Hanifah tidak memperbolehkan kesaksian orang buta secara mutlak. Dan Imam Syafi’i hanya membolehkan kesaksian orang buta dalam hal-hal nasab, kematian, milik mutlak, dan hal-hal yang dilihatnya secara tepat sebelum menjadi buta.

Kesimpulan : Selama masih ada saksi yang lain (yang tidak buta), sebaiknya saksi orang buta tidak diajukan dahulu, kecuali jika memang keadaan sangat membutuhkan kesaksiannya.


d) Sanksi terhadap saksi palsu

Memberikan kesaksian palsu termasuk sebesar-besarnya dosa besar.

Saksi palsu dianggap sebagai dosa besar, karena dampak negatifnya yang sangat luas. Dapat merugikan pihak-pihak tertentu, yana salah bisa bebas dari hukuman dan yang benar bisa dihukum, akan tersebar fitnah di masyarakt dan lain-lain. Sehingga persaksian palsu ini dosanya disamakan dengan dosa syirik dan durhaka pada orang tua.

Dengan tegas Al-Qur’an melarang perkataan dusta:


ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Artinya :

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya, maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta.” (QS. Al-Hajj/22: 30)

Apabila kemudiann saksi itu diketahui oleh majlis atau siding pengadilan atau masyarakat, maka menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad saksi palsu tersebut harus dihukum sengan ta’zir (peringatan keras, atau hukuman yang mendidik) dan diumumkan kepada masyarakt bahwa ia saksi palsu. Imam Malik menambahkan bahwa saksi palsu harus diumumkan di masjid-masjid, di pasar-pasar, dan di tempat-tempat berkumpulnya manusia, agar diketahui mereka.


C. PENGGUGAT DAN TERGUGAT DALAM PERADILAN

1. Pengertian Penggugat

Penggugat adalah orang yang mengajukan tuntutan melalui pengadilan karena ada haknya yang diambil orang lain atau krena adanya permasalahan dengan pihak lain, yang dianggap merugikan dirinya.

Penggugat disebut juga dengan penuntut, pendakwa atau penuduh.

2. Pengertian Tergugat

Tergugat adalah orang yang dituntut mengembalikan keadilan berkaitan dengan hak-hak orang lain, atau dituntut untuk mempertanggungjawabkan kesalahan atas dakwaan pihak lain di pengadilan. Tergugat sering disebut juga dengan terdakwa, atau tertuduh.

3. Syarat-syarat Gugatan

a. Gugatan disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke pengadilan dan di tandatangani oleh penggugat. Jika penggugat tidak bisa menulis, boleh mengajukan gugatan secara lisan kepada ketua pengadilan, yang nantinya akan dicatat oleh petugas pencatat.

b. Gugatan harus diuraikan dengan jelas dan rinci (tafshil), baik permasalahannya maupun alasan-alasan gugatan.

c. Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara.

d. Memenuhi persyaratan khusus yang dibuat oleh pengadilan.

e. Pihat tergugat tertentu orangnya.

f. Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, baligh dan berakal.

g. Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang membela agama.


4. Cara Memeriksa Terdakwa dan Terdakwa yang Tidak Hadir di Persidangan.

Dalam pemeriksaan harus dihadirkan pihak-pihak yang berperkara. Untuk pendakwa dianggap tidak ada masalah hadir di persidangan, karena ia yang menuntut agar perkaranya dimejahijaukan. Sedangkan terdakwa juga harus hadir. Jika tidak, pengadialn tetap memanggilnya sampai batas tiga kali. Bila tidak hadir juga, maka hakim boleh memutuskan perkara atas orang ghaib ini. Putusan ini ( dalam bahasa peradilan) disebut dengan putusan verstek (tidak hadir atau in absentia), yakni putusan pengadilan tanpa kehadiran pihak terdakwa atau tertuduh. Imam Syafo’i dan Imam Ahmad bin Hambal membolehkan hakim memutuskan perkara dengan cara versterk ini.

Menurut Imam Abu Hanifah, Ibn Abi Laila, Syuraih, dan Umar bin Abdul Aziz tidak membolehkan putusan verstek ini. Alasan yang dikemukakan adalah mungkin saja ketidakhadiran terdakwa karena ada hujjah yang menyebabkannya tidak bisa hadir di persidangan. Akan tetapi jika ada wakilnya, persidangan bisa dilanjutkan atau dilangsungkan.

Cara emeriksa terdakwa :

· Hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara

· Jika tidak dapat didamaikan, perkara itu diperiksa menurut ketentuan yang berlaku.

Beberapa kemungkinan dalam jalannya persidangan, yang apda akhirnya hakim memutuskan perkara :

a. Apabila terdakwa mengikrarkan (mengakui) tuduhan, maka hakim memutuskan perkara sesuai dengan pengakuan tersebut, dan pemeriksaan terdkawa dianggap tuntas.

b. Apabila terdakwa mengingkari tuduhan pendakwa, maka hakim meminta kepada pendakwa untuk menudatangkan bukti-bukti perkara.

c. Apabila bukti-bukti tidak cukup, sedangkan pendakwa tidak mampu membuktikan kebenaran gugatannya, lalu ia minta supaya pihak terdakwa disumpah, maka hakim harus meluluskan permintaannya, setelah itu hakim memutuskan perkara berdasarkan sumpah terdakwa.


D. BUKTI (BAYYINAH) DAN SUMPAH DALAM PERADILAN


1. Macam-macam Bukti

Suatu dakwaan dapat diterima dan dibenarkan apabila disertai dengan bukti yang lengkap.

Macam-macam bukti :

a. Saksi

b. Barang bukti

c. Pengakuan terdakwa

d. Sumpah

Sumpah ada dua macam :

1) Sumpah untuk berjanji melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

2) Sumpah untuk memberikan keterangan guna menguatkan bahwa sesuatu itu benar-benar demikian atau tidak.

e. Pengetahuan atau keyakinan hakim

Pengetahuan hakim yang ada relevansinya dengan pemeriksaan perkara merupakan satu bukti dalam penyelesaian perkara tersebut. Tapi pengetahuan dan keyakinan dari hakim ini hanya terbatas untuk menguatkan bukti yang lain. Juga tidak berlaku dalam perkara pidana.


2. Syarat-syarat Orang yang Bersumpah

Orang yang bersumpah dianggap sah sumpahnya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Mukallaf

Yaitu baligh dan berakal.

b. Atas kehendak sendiri

Tidak ada paksaan dari pihak manapun.

c. Sengaja mengucapkan sumpah.

d. Harus dengan nama Allah.


3. Lafal-lafal Sumpah

Kata billaahi adalah salah satu sumpah yang diawali huruf qasam. Kata-kata qasam adalah : . Kata-kata qasam tersebut mengandung arti ”Demi Allah”.

Contoh lafal sumpah misalnya,”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak mencuri.” Boleh juga diakhiri dengan kata laknat Allah, seperti sumpah li’an suami: “Demi Allah, saya bersumpah, bahwa istri saya telah berzina dengan si fulan. Kalau saya berdusta saya bersedia dilaknat oleh Allah swt. Untuk selama-lamanya.”


4. Tujuan Sumpah dan Sumpah Tergugat

Sumpah yaitu suatu pernyataan yang khidmat, diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan nama Allah dengan menggunakan huruf qasam (sumpah).

Tujuan sumpah adalah memberikan keterangan guna meyakinkan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak. Sumpah diucapkan oleh tergugat untuk menyangkal atau menolak gugatan yang ditunjukan kepadanya. Jika tergugat bersedia bersumpah, hakim dapat memutskan bahwa gugatan penggugat tidak benar.

Sumpah yang diucapkan tergugat bahwa semua gugatan penggugat itu tidak benar disebut yamin al-munkir (sumpah penolakan). Apabila bukti-bukti sangat lengkap dan meyakinkan, tetapi terdakwa masih menolak dan dikuatkan dengan sumpahnya, maka ketetapan hakim lebih didasarkan kepada bukti daripada sumpah. Sebab bukti-bukti baik berupa saksi atau barang bukti, lebih konkrit daripada sumpah, karena sumpah itu bersifat subyektif.



5. Pelanggaran Sumpah

Pelanggaran sumpah terjadi bila seseorang telah berikrar dengan menyebut nama Allah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu lalu tidak ditepatinya.

Adapun orang yang bersumpah untuk tidak mengerjakan sesuatu, lalu orang lain disruhnya untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, maka tidak termasuk pelanggaran sumpah. Orang yang melanggar sumpah karena lupa, juga tidak termasuk melanggar sumpah.

Denda orang yang melanggar sumpah adalah memilih salah atu dari hal-hal sebagai berikut:

a. Memberi makan kepada 10 orang miskin dengan makanan pokok (3/4 liter beras) tiap orang.

b. Memberi pakaian 10 orang miskin, yaitu pakaian yang pantas untuk mereka.

c. Memerdekakan busak.

d. Mengerjakan puasa selama 3 hari.

Allah berfirman:


لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya :

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikian Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah/5: 89)


E. PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


1. Dasar Hukum Peradilan Agama di Indonesia

Dasar hukum peradilan agama di Indonesia adalah Undang-Undang No. 14 tahun 1970, yang kemudian di era Orde Reformasi diperbaharui dengan lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, yaitu Undang-Undang tentang ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Negeri

c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal tersebut merupakan pasal yang menetapkan eksistensi badan peradilan di Indonesia, di mana peradilant ersebut harus dilaksanakan sesuai dengan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, yaitu: “demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Maka dengan demikian Peradilan Agama harus mengikuti undang-undang tersebut.

Untuk keseragaman nama di semua wilayah hukum di Indonesia, telah dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri AgamaNo. 6 tahun 1980 tertanggal 28 Januari 1980, bahwa nama peradilan di tingkat pertama adalah:”Pengadilan Agama” dan untuk tingkat bandingnya (provinsi) diberi nama “Pengadilan tinggi Agama”, dan juga telah dicantumkan dalam pasal 3 aya (1) UUPA.


2. Fungsi Peradilan Agama

Peradilan Agama berfungsi sebagai tempat meyelesaikan perkara perdata bagi warga Indonesia yang beragama Islam, yang mencakup bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, dan shadaqah.

Riancian wewenang Peradilan Agama di Indonesia sebagai berikut:

a. Perselisihan antara suami istri yang beragama lain.

b. Oerkara-perkara nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan penyelesaian atau penetapan hakim Islam.

c. Memberi putusan perceraian.

d. Menyatakan bahwa syarat jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq talak)

e. Mahar (termasuk mut’ah).

f. Perkara tentang kehidupan (nafkah) istri yang wajib diadakan oleh suami.

Khusus untuk peradilan di luar Jawa/ Madura dan sebagian Kalimantan Selatan, selain hal-hal di atas ditambah perkara-perkara tentang:

a. Hadhanah

b. Waris, Mal waris

c. Wakaf

d. Shadaqah

e. Baitul Mal

Dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka yugas Pengadilan Agama lebih luas. Selain yang di atas, juga ditambah:

a. Izin untuk beristri lebih dari seorang (poligami)

b. Izin melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, bila orang tuanya, wali, dan keluarganya dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.

c. Izin untuk tidak tinggal dalam satu rumah bagi suami istri selama berlangsungnya gugatan perceraian.

d. Dispensi dalam hal penyimpangan dari ketentuan umur minimum pria 19 tahun, wanita 16 tahun.

e. Pencegahan terhadap perkawinan.

f. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

g. Pembatalan perkawinan.

h. Kelalaian kewajiban suami istri.

i. Cerai talak oelh suami.

j. Cerai gugat oleh istri.

k. Hadhanah.

l. Biaya pemeliaharaan dan pendidikan anak.

m. Biaya penghidupan bagi bekas istri.

n. Sah/ tidaknya anak.

o. Pencabutan kekuasaan orang tua selain kekuasaan sebagai wali nikah.

p. Pencabutan penggantian wali.

q. Kewajiban ganti rugi oleh wali yang menyebabkan kerugian.

r. Penetapan asal-usul seoarang anak sebagai pengganti akte kelahiran.

s. Penolakan pemberian surat keterangan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dalam hal perkawinan campuran.

t. Harta bersama dalam perkawinan.